Kehadiran Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB Cetak Sejarah


PERS.NEWS – Ketibaan Presiden Prabowo Subianto di New York, Amerika Serikat (AS) pada Sabtu, 20 September 2025 sekira pukul 16.50 waktu setempat atau Minggu, 21 September 2025 WIB, akan menjadi titik awal momen bersejarah.

Pasalnya, kunjungan Kepala Negara ke AS kali ini bukan sekadar kunjungan kenegaraan biasa, melainkan menghadiri secara langsung sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah 10 tahun lamanya kehadiran Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri (Menlu). Prabowo juga akan berpidato di urutan ketiga dalam sidang itu.

Jejak Perjuangan Ayah

Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal menilai, kehadiran Prabowo dalam sidang umum PBB mengulang jejak perjuangan diplomasi sang ayah, Prof. Sumitro Djojohadikusumo.

Ia menilai ini merupakan kelanjutan tradisi keluarga pejuang diplomasi. Oleh karenanya, kehadiran Kepala Negara akan menjadi jejak perjuangan sang ayah.

“Kami rakyat Indonesia berharap, sebagaimana almarhum Prof. Sumitro, Presiden Prabowo dapat terus memperjuangkan upaya dunia untuk memperkokoh multilateralisme,” ujar Dino dalam keterangan yang disampaikan Badan Komunikasi RI, Sabtu, 21 September 2025.

Diketahui, Sumitro pernah memimpin delegasi Indonesia di PBB pada periode 1948-1949, masa yang sangat menentukan perjalanan sejarah Bangsa Indonesia dan posisinya di dunia.

Salah satu kiprah diplomasi paling monumental yang dicatat Sumitro adalah memorandum yang dikirim dari Kantor Perwakilan RI di PBB kepada Pejabat Menteri Luar Negeri AS Robert A. Lovett.

Memorandum yang kemudian dimuat di The New York Times pada 21 Desember 1948, mengecam agresi militer Belanda sebagai ancaman terhadap upaya membangun ketertiban dunia.

Agresi itu juga dianggap sebagai pelanggaran keras terhadap Perjanjian Renville serta perundingan lain antara Indonesia dan Belanda, sekaligus juga mencederai legitimasi PBB.

Tak berhenti di situ, Sumitro melakukan berbagai upaya diplomatik, termasuk membangun dukungan dari negara-negara Asia.

Pada pertemuan di India, Januari 1949, ia berhasil menggalang solidaritas negara-negara Asia untuk menghentikan agresi Belanda dan menuntut pembebasan para pimpinan Republik.

Puncaknya, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949. Setahun kemudian, tepat pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat resmi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. (*)