PERS.NEWS – Perwakilan DPR-RI meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Disabilitas yang meminta agar penyakit kronis dinyatakan sebagai penyandang disabilitas.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi III Sari Yuliati melalui daring, Selasa, 21 Oktober 2025.
“Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima,” kata Sari.
Alasan DPR meminta MK menolak permohonan tersebut karena tidak semua penyakit kronis dinilai bisa menyebabkan kondisi disabilitas.
Sebab itu, asesmen dokter atau tenaga kesehatan untuk menentukan penyakit kronis sebagai penyebab disabilitas menjadi hal yang penting.
“Juga harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti perkembangan gejala, potensi kambuh, serta sifat jangka panjang dari kondisi tersebut.
Dengan demikian, asesmen medis berfungsi sebagai jembatan antara potensi hukum yang diberikan oleh negara dengan implementasi praktis pengakuan hak-hak penderita penyakit kronis,” ucapnya.
Selain itu, Sari berdalih permohonan para pemohon akan berpotensi kontraproduktif bagi sistem perlindungan disabilitas.
“Karena hal tersebut akan menimbulkan multitafsir dan memperluas spektrum fokus kebijakan perlindungan disabilitas sehingga menyulitkan implementasi dan mengaburkan fokus perlindungan terhadap kelompok yang benar-benar membutuhkan akomodasi yang layak, serta mengurangi efektivitas alokasi sumber daya,” tandasnya.
Dalam sidang sebelumnya, Selasa, 7Oktober 2025, pemerintah melalui Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial, Supomo, juga meminta agar MK menolak permohonan tersebut.
Alasannya hampir sama, penyakit kronis bukan disabilitas, walaupun bisa menjadi penyebab seseorang menjadi disabilitas.
Namun, penderita penyakit kronis tidak bisa langsung dinyatakan disabilitas. Kata dia, perlu ada asesmen klinis yang memberikan keterangan bahwa penyakit tersebut menyebabkan kondisi disabilitas.
Sebagai informasi, uji materi dengan nomor perkara 130/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh dua penyandang penyakit kronis, Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru.
Mereka mengajukan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Raissa Fatikha adalah penyintas Thoracic Outlet Syndrome (TOS) selama 10 tahun.
Ia mengalami nyeri berkelanjutan di tangan, pundak, dan dada kanan atas dengan intensitas yang berfluktuasi. (*)