Oleh: Nasmaul Hamdani
Mahasiswa di Persimpangan Tekanan dan Harapan.
Medan|PERS.NEWS-Mahasiswa sering disebut sebagai agent of change — generasi terdidik yang diharapkan membawa perubahan sosial. Namun di balik citra ideal itu, banyak dari mereka kini hidup dalam tekanan psikologis yang kian berat.Tugas akademik yang menumpuk, ekspektasi keluarga, persaingan kerja yang ketat, hingga pengaruh media sosial membentuk beban mental yang tak terlihat, tetapi nyata.(23/10/25)
Fenomena stres, kecemasan, hingga depresi di kalangan mahasiswa bukan lagi kasus langka. Mereka yang tampak aktif dan berprestasi sering kali menyembunyikan luka batin yang dalam.Krisis ini ibarat gunung es — bagian yang tampak hanyalah sebagian kecil dari kenyataan yang sesungguhnya.
Tekanan Akademik dan Sosial: Lahan Subur Kecemasan.
Sistem pendidikan tinggi kita kerap menempatkan mahasiswa sebagai “produk” yang harus selalu unggul, cepat, dan berprestasi.Keterlambatan menyelesaikan skripsi dianggap kegagalan, IPK rendah dianggap aib. Padahal, setiap mahasiswa memiliki kapasitas dan daya adaptasi yang berbeda terhadap tekanan tersebut.
Budaya kompetitif di media sosial turut memperparah situasi. Unggahan pencapaian teman — mulai dari seminar internasional, magang di BUMN, hingga kelulusan cepat — kerap memicu rasa minder dan tidak berharga.Fenomena ini dikenal sebagai comparison trap, yaitu perangkap perbandingan sosial yang perlahan mengikis rasa percaya diri.
Survei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2024 mencatat, lebih dari 54% mahasiswa di Indonesia mengaku sering mengalami stres berat dan kelelahan mental selama kuliah.Lebih mencemaskan lagi, 23% di antaranya mengaku pernah memiliki pikiran untuk menyerah atau bunuh diri akibat tekanan akademik dan sosial.Data ini menegaskan bahwa kampus bukan hanya ruang belajar, tetapi juga medan perjuangan psikologis yang nyata.
“Kampus yang Masih Abai”
Ironisnya, di tengah meningkatnya kesadaran global tentang kesehatan mental, banyak perguruan tinggi di Indonesia masih bersikap pasif.Layanan konseling kampus sering kali hanya menjadi formalitas: ruang sempit tanpa privasi, jadwal terbatas, dan tanpa pendamping psikolog profesional.
Di sejumlah universitas negeri di Sumatera dan Kalimantan, misalnya, layanan konseling hanya diadakan dua kali sebulan dan diampu oleh dosen pembimbing akademik, bukan psikolog klinis.Akibatnya, mahasiswa yang mengalami krisis justru merasa tidak nyaman untuk bercerita, apalagi berharap mendapat solusi.
Mahasiswa yang ingin mencari bantuan pun kerap khawatir dicap “lemah” atau “tidak tahan banting.” Padahal, meminta pertolongan adalah bentuk kesadaran diri — bukan kelemahan.Kampus seharusnya menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa, bukan hanya secara akademik, tetapi juga emosional.Tanpa perhatian terhadap kesejahteraan mental, pendidikan kehilangan ruhnya sebagai proses memanusiakan manusia.
Dampak yang Tak Bisa Diabaikan
Gangguan kesehatan mental tidak hanya mengganggu suasana hati, tetapi juga berpengaruh langsung terhadap produktivitas dan hubungan sosial mahasiswa.Banyak yang kehilangan fokus belajar, menunda tugas, menarik diri dari pergaulan, bahkan dalam kasus ekstrem, mencoba menyakiti diri sendiri.
Riset Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2023 menunjukkan bahwa burnout menjadi penyebab utama menurunnya performa akademik dan keterlibatan sosial di kalangan mahasiswa.Gejala seperti sulit tidur, kehilangan minat, hingga kelelahan emosional berkepanjangan merupakan sinyal bahaya yang sering diabaikan.
Lebih jauh, gangguan mental juga berdampak pada meningkatnya tingkat drop out dan menurunnya produktivitas riset. Banyak mahasiswa akhirnya menyerah di tengah jalan karena kehilangan arah dan dukungan emosional.
Peran Kampus dan Komunitas Mahasiswa
Untuk menjawab persoalan ini, kampus perlu membangun ekosistem yang sehat dan suportif.Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:
Mendirikan Pusat Layanan Konseling (Student Well-Being Center) dengan tenaga psikolog profesional, bukan sekadar dosen pembimbing.
Membentuk Tim Pendamping Sebaya (Peer Counselor) di setiap fakultas agar mahasiswa bisa bercerita tanpa takut dihakimi.
Mengintegrasikan literasi kesehatan mental ke dalam orientasi mahasiswa baru dan mata kuliah umum.
Mengatur beban akademik secara proporsional, memberi ruang bagi mahasiswa untuk bernapas tanpa kehilangan motivasi.
Menggalakkan kampanye “Berani Bicara” di media kampus untuk menumbuhkan empati dan kesadaran bersama.
Selain itu, organisasi mahasiswa juga dapat berperan aktif melalui kegiatan support group, forum diskusi, atau healing camp yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi ruang pemulihan batin.
Menemukan Ketenangan Melalui Spiritualitas dan Makna Hidup.
Di tengah hiruk-pikuk dunia akademik, banyak mahasiswa kehilangan makna di balik perjuangan mereka.Padahal, kebahagiaan sejati lahir dari keseimbangan antara pencapaian dan ketenangan batin.Nilai spiritualitas, refleksi diri, dan rasa syukur dapat menjadi sumber kekuatan mental yang luar biasa.
Kegiatan seperti mentoring rohani, doa bersama, atau aktivitas sosial dapat menjadi “jangkar batin” di tengah badai akademik.Mahasiswa yang memiliki keseimbangan spiritual umumnya lebih tahan terhadap stres dan lebih mampu mengendalikan emosi.
“Belajar bukan hanya untuk nilai, tetapi untuk menemukan jati diri dan kebermanfaatan.”
“Saatnya Berani Bicara”
Krisis kesehatan mental di kalangan mahasiswa bukan sekadar masalah individu, melainkan potret dari sistem pendidikan yang terlalu menekankan hasil tanpa memedulikan proses manusia di dalamnya.
Kampus harus menjadi ruang yang peduli dan memulihkan.Mahasiswa harus berani bicara bahwa mereka tidak baik-baik saja — karena diam bukan solusi.Masyarakat pun harus berhenti menstigma mahasiswa yang membutuhkan bantuan psikologis, karena mereka bukan lemah — mereka sedang berjuang.
“Mahasiswa bukan mesin IPK. Mereka manusia dengan pikiran, emosi, dan hak untuk merasa lelah.”
Menjaga kesehatan mental bukan kelemahan, melainkan bentuk keberanian baru di era serba cepat.Dan di balik setiap gelar sarjana, seharusnya tidak ada air mata yang tertahan — hanya semangat untuk tumbuh sebagai manusia seutuhnya.(Red)