Hadiah Berkedok Lowongan: Tamparan untuk Politik yang Lupa Malu

MEDAN|PERS.NEWS-Di tengah gegap gempita peringatan Sumpah Pemuda, saat anak-anak muda bicara tentang cita-cita dan masa depan bangsa, Sumatera Utara justru diguncang kabar yang membuat banyak orang mengernyit: Gubernur disebut-sebut memberikan lowongan kerja kepada Serikat Islam sebagai bentuk “hadiah.”

Sebuah langkah yang di atas kertas tampak manis, namun di hati rakyat terasa getir. Pertanyaannya sederhana: sejak kapan pekerjaan berubah menjadi bingkisan politik?

Di antara riuh perayaan dan jargon kebangsaan, muncul sosok Eriza Hudori, Ketua DPW PETANESIA (Pecinta Tanah Air Indonesia) Sumatera Utara. Ia tidak berbicara dari podium kekuasaan, tetapi dari ruang refleksi — tempat di mana idealisme masih berani menatap kekuasaan tanpa rasa takut.

“Pekerjaan bukan hadiah. Itu hak rakyat. Kalau ingin memberi, berilah sistem yang adil — bukan posisi yang diselipkan rasa terima kasih,”
ujar Eriza dalam pernyataan reflektifnya di momentum Sumpah Pemuda.

Kata-kata itu terdengar keras, tapi sesungguhnya jernih. Di negeri yang sering menukar kedekatan dengan kesempatan, kejujuran memang kerap terdengar brutal.

Eriza menegaskan, kebaikan seorang pemimpin tidak diukur dari seberapa banyak ia memberi jabatan, tetapi dari seberapa tulus ia menegakkan keadilan.

“Kalau hadiah itu terbuka untuk semua, itu kebijakan. Tapi kalau hanya untuk yang dekat, itu penistaan terhadap keadilan,” katanya tegas.

Ia mengingatkan, bangsa ini akan terus melemah jika rakyat terus diajari untuk berterima kasih atas sesuatu yang seharusnya menjadi hak.

“Bangsa yang terlalu sering diberi, lambat laun lupa cara berdiri,” ucapnya menohok.

Bagi Eriza, refleksi Sumpah Pemuda bukan sekadar mengulang sejarah, melainkan menantang generasi hari ini untuk berani jujur.

“Cinta tanah air tidak lahir dari jabatan, tapi dari keberanian berkata benar,” lanjutnya.

Pernyataannya menyalakan api di kalangan muda. Banyak yang menilai, suara seperti Eriza adalah oase di tengah gurun politik yang kian pragmatis. Ia bukan sekadar tokoh organisasi, tetapi simbol bahwa idealisme belum mati — hanya butuh keberanian untuk bangkit.

Dan di tengah pesta seremonial yang sering meninabobokan, kalimat Eriza menggema seperti peringatan keras:

“Hadiah terbaik bagi rakyat bukan pekerjaan yang diberikan, tapi kesempatan yang diciptakan.”

Kata-katanya menjadi tamparan lembut bagi para pemimpin yang lupa malu — mereka yang masih menganggap kekuasaan sebagai alat berbagi hadiah, bukan menegakkan keadilan.

Sumpah Pemuda tahun ini mengajarkan satu hal:
Bangsa yang besar tidak dibangun dari pemberian, tetapi dari keberanian generasinya untuk menolak menjadi pengemis politik.

Dan di tengah suara yang gemetar oleh kepentingan, Eriza Hudori memilih tetap lantang.

Sebab keadilan — meski terdengar brutal — tetap lebih mulia daripada basa-basi kekuasaan.(Red)