Oleh: M. Sabda Erlangga
“Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah”
MEDAN |PERS.NEWS-Kalimat dari Pramoedya di atas begitu menggugah, bukan karena rakyat senang berunjuk rasa, tetapi karena mereka kerap menjadi korban dari kekacauan politik dan kelaliman penguasa. Dalam konteks itu, mahasiswa seharusnya hadir sebagai garda terdepan ketika rakyat tertindas oleh kekuasaan yang pongah.(31/10/25)
Namun, realitas hari ini justru memperlihatkan kemunduran semangat itu. Banyak mahasiswa hanya menjadi penonton di tengah berbagai persoalan bangsa. Energi kritis yang dahulu menjadi ciri khas pergerakan mahasiswa kini seperti kehilangan arah. Salah satu akar persoalannya terletak pada melemahnya jiwa ormawaisme—semangat berorganisasi yang sejati.
Padahal, organisasi mahasiswa (ormawa) adalah kunci pergerakan. Ia bukan sekadar wadah formal, tetapi ruang pembentukan karakter, intelektualitas, dan keberpihakan sosial. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi dengan ormawaisme hari ini?
“Esensi yang Kian Terkikis”
Ormawaisme bukan hanya istilah; ia adalah semangat untuk menegaskan kembali makna berorganisasi yang sejati. Di tengah era digital dan budaya serba instan, banyak organisasi mahasiswa terjebak dalam rutinitas administratif—sibuk membuat dokumentasi, mengurus proposal, atau mengadakan acara seremonial—namun miskin gagasan dan aksi nyata.
Organisasi mahasiswa seakan berubah menjadi klub dokumentasi, bukan laboratorium perjuangan. Mereka lebih sibuk membangun citra dan mempercantik laporan, ketimbang membangun kesadaran kritis dan kebermanfaatan. Akibatnya, esensi perjuangan sosial dan pendidikan karakter yang dulu menjadi napas ormawa kini nyaris hilang.
“Kembali ke Akar Gerakan”
Ormawaisme sejati menolak budaya “menjual nama”—budaya yang menjadikan organisasi sebagai alat mencari popularitas, jabatan, atau keuntungan pribadi. Ia menuntut organisasi mahasiswa untuk kembali menjadi wadah pembentukan diri, kreativitas, dan solidaritas sosial.
Mahasiswa harus menyadari bahwa organisasi bukan sekadar tempat berkumpul atau formalitas kampus, melainkan ruang perjuangan yang menyiapkan mereka menjadi agen perubahan. Di sanalah nilai-nilai idealisme, tanggung jawab sosial, dan keberanian bersuara ditempa.
Jika ormawa kembali pada rohnya, maka mahasiswa akan kembali menjadi kekuatan moral dan intelektual yang berani menyuarakan kebenaran—bukan hanya menjadi catatan dalam dokumentasi kegiatan, tetapi menjadi bagian penting dalam sejarah perubahan.
Penutup :
Sudah saatnya mahasiswa merefleksikan kembali: apakah organisasi yang kita jalani hari ini masih memiliki makna perjuangan, atau hanya menjadi simbol tanpa jiwa?
Karena sejatinya, ormawaisme bukan tentang banyaknya foto di media sosial, bukan pula tentang nama besar lembaga. Ia adallah tentang keberanian untuk berpihak pada kebenaran dan menyalakan kembali bara idealisme di dada setiap mahasiswa.(MSE













