Menangis di Tepian Batang Natal: Janji yang Tenggelam di Lumpur Tambang Ilegal

Oleh: Nasmaul Hamdani

 

MANDAILING NATAL| PERS.NEWS —Air Sungai Batang Natal yang dulu jernih kini berwarna kecokelatan. Deru mesin dompeng menggantikan gemericik air, dan aroma solar menenggelamkan harum tanah basah di tepian sungai. Dulu, anak-anak mandi sore sambil menangkap ikan; kini, mereka hanya bisa menatap air yang memantulkan wajah muram mereka sendiri.(8/11/25)

“Ulah tangan dan keserakahan manusia, kami menangis di tepian muara,”lirih suara seorang ibu di tepi Sungai Batang Natal.

Kalimat itu bukan sekadar keluhan — ia adalah jeritan panjang dari masyarakat yang hidup di bawah bayang-bayang tambang emas ilegal.

 

Sungai yang Luka, Bumi yang Menangis

Pertambangan emas tanpa izin (PETI) telah lama menjadi luka menganga di tubuh Batang Natal. Dari hulu hingga muara, bekas lubang tambang menganga seperti parut di wajah bumi. Airnya keruh, hutan di tepi sungai hilang perlahan, dan lumpur bercampur merkuri meresap ke tanah, meracuni ikan dan sawah di sekitarnya.

Data Dinas Lingkungan Hidup Mandailing Natal menunjukkan, kadar sedimen dan logam berat di beberapa titik sudah melewati ambang batas aman. Warga kini membeli air galon untuk mandi dan minum, karena sungai tak lagi layak digunakan.

“Dulu kami hidup dari sungai, sekarang kami hanya bisa melihatnya sekarat,”tutur Siti, warga Natal dengan nada getir.

 

Janji Pemerintah: Antara Harapan dan Kepalsuan

Masalah tambang ilegal di Mandailing Natal bukan hal baru. Sejak 2019, deretan pejabat telah mengumbar janji menertibkan tambang liar — tapi semua berakhir menjadi gema kosong.

Pada Desember 2019, Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi berjanji akan menutup seluruh tambang tanpa izin.

“Kita tidak akan membiarkan praktik tambang emas tanpa izin operasional,” tegasnya kala itu.

Tiga tahun kemudian, saat berkunjung ke Desa Bangkelang (Oktober 2022), ia kembali menyerukan penghentian tambang liar:

“Kepala desa, Babinsa, Bhabinkamtibmas — semua harus berani kalau tambang itu menyengsarakan rakyat.”

Namun, waktu membuktikan: janji tinggal janji. Aktivitas tambang masih bergema di malam hari, bahkan lebih rapi dari sebelumnya.

Pada April 2025, Bupati Mandailing Natal Saipullah Nasution mengeluarkan Surat Perintah Nomor 660/0698/DLH/2025 tentang penghentian PETI di 12 kecamatan. Tapi surat itu seperti kertas tanpa nyawa — tak dihiraukan siapa pun.

Beberapa bulan kemudian, Malintang Pos menulis tajuk tajam:

“Surat Bupati Dicuekin Penambang.”

Kapolda Sumut Irjen Whisnu Hermawan pun sempat menginstruksikan penindakan tegas. Tapi deru mesin tambang masih terdengar. Hukum hanya menggema di ruang konferensi pers, sementara di lapangan, tambang terus menelan sungai.

 

Payung Hukum yang Tak Bertaring

Padahal hukum sudah jelas.Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan:

 

“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.”

 

Namun di Batang Natal, pasal itu seperti batu di dasar sungai — tenggelam dan dilupakan.Sesekali ada razia, beberapa alat berat disita, tapi aktivitas tambang tetap hidup kembali.Yang ditangkap pun biasanya hanya pekerja kecil, bukan para pemodal besar yang bersembunyi di balik kekuasaan dan uang.

 

Rakyat di Antara Lumpur dan Kemiskinan

Tambang ilegal bukan semata persoalan keserakahan, tapi juga cerminan putus asa.Ketika harga karet dan kopi anjlok, tambang emas jadi satu-satunya jalan pintas untuk bertahan hidup.

 

“Kalau tambang ditutup, kami makan apa?” tanya seorang penambang muda.“Tapi kalau terus dibuka, anak kami nanti bisa apa?” tambahnya lirih.

 

Dilema itu nyata — di antara perut yang lapar dan sungai yang merintih.

 

Jalan Keluar yang Masih Tertutup Lumpur

Larangan dan razia tak akan cukup. Menutup tambang tanpa memberi jalan hidup lain hanya akan menambah ketegangan sosial.

 

Pemerintah harus hadir dengan tindakan nyata:

Membangun program ekonomi hijau seperti agroforestri, pertanian organik, dan ekowisata sungai.

Memberdayakan warga bantaran sungai sebagai pengawas lingkungan.

Rehabilitasi lahan bekas tambang dengan tanaman penahan erosi dan pemantauan kualitas air rutin.

Penegakan hukum yang konsisten, bukan seremonial semata.

 

Menjaga Janji, Menjaga Bumi

Sungai Batang Natal bukan sekadar aliran air — ia adalah nadi kehidupan Mandailing. Ketika sungai rusak, rusak pula martabat kita sebagai manusia.

Janji sudah diucapkan, surat sudah diterbitkan, tapi kenyataan tak berubah:air makin keruh, hutan makin gundul, rakyat makin kecewa.

 

“Sungai tidak butuh janji,”tulis seorang warga di jembatan kayu tua Batang Natal.“Sungai butuh tindakan.”

 

Kisah tambang ilegal di Batang Natal bukan sekadar kisah lingkungan, melainkan cermin dari lemahnya tata kelola dan moral penegakan hukum.

 

Ketika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, keadilan hanyalah slogan tanpa makna.Jika janji pejabat terus tenggelam di lumpur tambang, maka Batang Natal akan menjadi monumen bisu — bukan hanya dari rusaknya alam, tapi juga gagalnya kita menjaga amanah bumi dan rakyatnya.

(NH)