The Dark Academia: Krisis Sunyi di Balik Megahnya Dunia Kampus

Oleh:Nasmaul Hamdani

 

MEDAN| PERS.NEWS —Kampus selama ini dipuja sebagai benteng intelektual, tempat lahirnya para pemimpin masa depan. Namun, di balik wajah gemilang akademia, tersembunyi sisi gelap yang kian nyata—namun berulang kali diabaikan. Fenomena ini dikenal sebagai Dark Academia; sebuah realitas di mana tekanan akademik, persaingan sosial, dan perjuangan mental menjadi bagian dari kurikulum tak tertulis yang harus ditempuh setiap mahasiswa.(8/9/25)

 

Prestasi: Ketika Harapan Berubah Menjadi Jerat

Mahasiswa terjebak dalam standar tinggi yang dipatok oleh keluarga, dosen, dan institusi pendidikan. Mereka tidak hanya belajar demi ilmu, tetapi juga demi mempertahankan reputasi. Gagal bukan sekadar nilai buruk—melainkan dianggap kegagalan eksistensial.

“Di sudut-sudut ruang kampus, semangat belajar kini bertransformasi menjadi upaya bertahan hidup.”

Dengan begitu banyak target yang harus dipenuhi, pendewasaan intelektual yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi perjalanan yang menegangkan. Prestasi kini lebih menyerupai tuntutan ketimbang pencapaian.Apakah manusia harus sempurna untuk diakui nilai dirinya?

 

Kesunyian dalam Keramaian: Masalah yang Terus Membesar

Meskipun kampus dipadati ribuan mahasiswa, rasa kesepian justru menjadi isu yang tumbuh diam-diam. Banyak mahasiswa memilih menyimpan derita sendiri—takut dianggap lemah, takut dicap tidak sekuat yang terlihat.

Kesepian ini dipupuk oleh budaya digital yang sarat pencitraan, pertemanan yang bersifat transaksional, dan minimnya ruang aman untuk benar-benar bercerita.

“Banyak mahasiswa merasa ditemani oleh orang-orang yang hanya hadir secara fisik, namun tak mampu memahami isi kepalanya.”

Kesunyian itu bagaikan kabut yang merayap perlahan—tidak tampak, tapi mampu menutup semua arah pulang.

 

Organisasi Kampus: Arena Ambisi yang Mengikis Empati

Dunia organisasi sering dipuja sebagai tempat menempa jiwa kepemimpinan. Namun, faktanya, tidak sedikit organisasi justru menjadi ladang tekanan sosial yang memperparah kecemasan.

Budaya senioritas, perebutan jabatan, dan politik internal sering kali menjadi racun yang mempersempit ruang aman bagi mahasiswa yang ingin berkembang tanpa harus berpura-pura kuat.

“Banyak jiwa yang tumbang bukan karena konflik ide, tetapi karena ditusuk ambisi atas nama dedikasi.”

Organisasi seharusnya menjadi ruang kolaborasi, bukan arena dominasi. Tempat menumbuhkan empati, bukan mencetak hierarki sosial baru yang kaku dan eksklusif.

 

Kesehatan Mental: Luka Sosial yang Tak Boleh Terus Disembunyikan

Krisis kesehatan mental di kampus adalah fakta yang tak bisa dihindari. Namun, layanan konseling sering diperlakukan hanya sebagai pelengkap—bukan kebutuhan mendesak.

Mahasiswa yang membutuhkan bantuan justru terjebak di antara rasa takut dicap lemah dan minimnya akses terhadap layanan psikologi yang layak.Stigma menjadi tembok tinggi yang membuat banyak mahasiswa memilih diam.

“Luka itu tidak terlihat, tidak berbekas, namun menggerogoti perlahan.Seperti api di dalam sekam—membakar dari dalam tanpa disadari siapa pun.”

Kampus mungkin bangga mencetak ribuan lulusan unggul.Namun, berapa banyak dari mereka yang pulang dengan hati yang masih utuh?

 

Saatnya Kampus Memanusiakan Manusia

Pendidikan tinggi harus kembali pada hakikatnya: menempa manusia agar menjadi pribadi yang berdaya dan berpengetahuan—bukan sekadar robot yang siap bekerja.

Rekomendasi kebijakan bukan lagi formalitas, melainkan keharusan moral:

Akses konseling yang mudah dan profesional;

Reformasi sistem evaluasi akademik yang menghargai proses, bukan hanya hasil;

Pembentukan budaya organisasi berbasis empati, bukan dominasi;

Pelatihan bagi dosen dan tenaga pendidik agar peka terhadap kesehatan mental mahasiswa.

Kesadaran ini tidak boleh lagi ditunda.

“Keberhasilan suatu kampus tidak diukur dari jumlah lulusan terbaik,tetapi dari seberapa banyak jiwa muda yang terselamatkan dari tekanan yang tidak manusiawi.”

 

Jangan Biarkan Mereka Berjuang Sendiri

Fenomena Dark Academia adalah potret keheningan yang menyakitkan. Banyak mahasiswa berperang dalam gelap, memikul beban yang tak pernah mereka minta. Mereka tertawa dalam kerapuhan, menyembunyikan luka demi terlihat kuat di mata dunia.

Namun, keberanian bukan selalu soal berdiri paling depan. Terkadang, itu justru kemampuan untuk mengakui bahwa kita tidak baik-baik saja.

“Pendidikan sejati bukan hanya melahirkan kecerdasan, tetapi juga menjaga keberlangsungan jiwa manusia.”

Apa arti sebuah gelar kebanggaan, toga yang membanggakan, dan lambang intelektualitas yang diagungkan—jika proses meraihnya justru mematahkan mereka yang memperjuangkannya?

Saatnya kampus tidak hanya mencetak para pemikir besar,tetapi juga memastikan bahwa tak satu pun dari mereka hilang di tengah jalan.(NH)