BAYANGAN PENGUSAHA TAMBANG DI BALIK UPAYA MUKTAMAR ILEGAL PII, PB PII ANGKAT SUARA

MEDAN|PERS.NEWS-Gelombang dinamika internal Pelajar Islam Indonesia (PII) kembali bergolak. Di balik layar, beredar dugaan keterlibatan seorang oknum pengusaha tambang yang disebut-sebut mendorong terselenggaranya Muktamar Nasional PII tanpa dasar keputusan konstitusional.

 

Isu ini bukan sekadar gosip organisasi — berbagai sumber internal menyebut bahwa dukungan eksternal itu sudah mengalir dalam bentuk logistik, pendanaan, hingga upaya memobilisasi kelompok tertentu untuk melegitimasi agenda yang dianggap cacat prosedur tersebut.jum’at (28/11/25)

PII, yang berdiri sebagai organisasi pelajar tertua dan berpengaruh dalam sejarah pergerakan nasional, harus kembali menghadapi situasi di mana independensinya diuji. Organisasi yang selama puluhan tahun berdiri di garda depan pembentukan karakter generasi muda Islam ini, kini diduga tengah menjadi sasaran penetrasi kepentingan ekonomi.

 

“PB PII: Ini Bukan Sekadar Pelanggaran Teknis”

Pengurus Besar PII merespons tegas kabar yang kian menguat itu. Mereka mengecam segala bentuk intervensi, khususnya dari pihak yang tidak memiliki hubungan organisatoris dengan PII.

 

“Ini bukan hanya pelanggaran prosedural, tetapi upaya terstruktur untuk membajak proses organisasi PII. Jika ada pihak yang mencoba memaksakan penyelenggaraan muktamar ilegal dengan dukungan modal dari luar, itu jelas melampaui batas,” ujar Ketua 3 PB PII, Agung Gumelar, dengan nada tegas.

 

Menurut PB PII, apa yang terjadi bukan hanya sekadar masalah administratif, melainkan potensi perampasan kedaulatan organisasi oleh tangan-tangan yang memiliki kepentingan jauh di luar tujuan kaderisasi pelajar.

 

“Organisasi Pelajar Jangan Dijadikan Alat Transaksi Kepentingan”

Kekhawatiran PB PII bukan tanpa alasan. Dalam beberapa kasus organisasi pemuda di Indonesia, infiltrasi kepentingan luar sering kali berujung pada polarisasi internal, terbelahnya kader, dan rusaknya nilai perjuangan.

 

“Organisasi ini bukan alat transaksi kepentingan bisnis siapa pun. Jika ada oknum yang mencoba memanfaatkan PII demi agenda ekonomi atau politik, maka itu adalah musuh bersama,” lanjut Agung.

 

PII menegaskan bahwa muktamar — sebagai forum tertinggi organisasi — hanya dapat dilaksanakan melalui proses yang sah, bermartabat, dan sesuai konstitusi. Setiap agenda yang didorong pihak luar dinilai sebagai langkah memecah-belah kader dan mengganggu marwah perjuangan PII.

 

“PB PII Siap Menempuh Jalur Organisasi Hingga Hukum”

Untuk mengantisipasi eskalasi, PB PII sudah menyiapkan beberapa opsi langkah strategis. Baik penyampaian surat resmi kepada seluruh wilayah, penegasan garis komando, hingga kemungkinan membawa persoalan ini ke ranah hukum apabila kegiatan yang disebut ilegal tersebut tetap dipaksakan.

Instruksi pun disampaikan ke seluruh Pengurus Wilayah dan Daerah agar tetap waspada terhadap ajakan atau undangan muktamar dari pihak yang tidak memiliki legitimasi struktural.

 

“Kami mengimbau seluruh kader untuk tetap berada dalam garis perjuangan resmi organisasi. Jangan mudah terpengaruh provokasi atau janji manis dari pihak-pihak yang membawa agenda tersembunyi,” tegasnya.

 

“Arah Pertarungan Organisasi ke Depan”

Situasi yang menghangat ini mencerminkan bahwa PII bukan organisasi kecil yang bisa dilecehkan. Justru karena besarnya kekuatan jaringan kader dan pengaruh historis PII dalam dunia pergerakan, banyak pihak yang tergoda untuk menungganginya.

Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah upaya tersebut terjadi, melainkan sejauh mana niat itu akan terus didorong dan bagaimana PB PII akan merespons langkah demi langkah.

 

Satu hal jelas: upaya menjaga kedaulatan organisasi ini bisa menjadi babak penting dalam sejarah panjang perjalanan PII. Apakah PII mampu keluar dari ujian intervensi kepentingan luar? Ataukah justru gejolak ini menjadi pemecah solidaritas internal?

 

Waktu yang akan berbicara, Namun sikap PB PII saat ini menunjukkan satu pesan yang tegas:

PII tidak akan tunduk pada kepentingan apa pun selain kepentingan pelajar dan bangsa.(Red)