Inovasi Respons Cepat PMI: Komitmen 6 Jam dan Tantangan Ketahanan yang Adil

OLEH : ALYA SANTIKA BATUBARA

MEDAN|PERS.NEWS-Palang Merah Indonesia (PMI) berkomitmen untuk merespons bencana dalam waktu maksimal enam jam. Ini merupakan langkah ambisius sekaligus penting di tengah meningkatnya risiko bencana di Indonesia.

Pendekatan tersebut menandai perubahan dari pola penanganan yang reaktif menuju respons yang cepat, terlatih, dan berbasis sistem. Namun, komitmen ini tidak boleh berhenti sebagai pernyataan formal; dibutuhkan kesiapan nyata di lapangan, terutama di wilayah berisiko tinggi.

Urgensi respons cepat terlihat dari rangkaian bencana hidrometeorologi yang melanda Sumatera pada akhir November hingga Desember 2025. Berdasarkan data BNPB yang dikutip DetikNews pada 1 Desember 2025, banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menyebabkan 442 orang meninggal dan 402 orang masih hilang. Angka tersebut mencerminkan besarnya dampak bencana dan menegaskan bahwa kecepatan respons sangat menentukan keselamatan banyak orang.

Di Sumatera Utara, sejumlah daerah seperti Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Sibolga termasuk wilayah yang paling sulit dijangkau akibat jalan terputus karena longsor. Kondisi geografis tersebut membuat target “6 jam tiba di lokasi” menjadi lebih dari sekadar capaian logistik; ini merupakan ujian bagi kapasitas organisasi serta koordinasi antarlembaga. Tanpa ketersediaan transportasi, relawan terlatih, peralatan evakuasi, dan jaringan komunikasi yang memadai, target tersebut bisa menjadi slogan tanpa makna bagi masyarakat terdampak.

PMI telah melakukan berbagai inovasi, seperti penyediaan alat penyelamatan vertikal, peralatan evakuasi air, penyaring air darurat, serta edukasi simulasi iklim. Namun, semua inovasi ini hanya akan bermakna jika mampu menjangkau masyarakat paling rentan—mereka yang tinggal di daerah rawan banjir, longsor, atau wilayah terpencil dengan akses terbatas. Tantangan utama bukan semata teknologi, melainkan pemerataan manfaat. Banyak komunitas di daerah berisiko masih kekurangan pengetahuan kebencanaan, dan banyak keluarga belum mampu melakukan evakuasi mandiri ketika bencana datang tiba-tiba.

Karena itu, komitmen 6 jam harus dilihat sebagai langkah awal membangun ketahanan berbasis masyarakat. Respons cepat memang dapat menyelamatkan nyawa, tetapi dibutuhkan upaya mitigasi jangka panjang untuk mengurangi jumlah korban. Edukasi kebencanaan, pelatihan evakuasi, pengembangan jalur aman, serta penguatan relawan lokal perlu menjadi prioritas. Evaluasi berkala terhadap infrastruktur dan kondisi lingkungan juga dibutuhkan, mengingat kerusakan ekologi sering memperburuk dampak bencana seperti yang terjadi di Sumatera.

Sebagai mahasiswa yang mengikuti isu kemanusiaan dan kebencanaan, saya melihat PMI telah berada di jalur positif melalui berbagai inovasi dan peningkatan kapasitas. Meski begitu, keberhasilan sejati akan terlihat ketika masyarakat di wilayah terpencil dan berisiko dapat merasakan kehadiran PMI yang cepat, terlatih, dan tepat sasaran. Ketahanan bukan hanya hak kota-kota besar, tetapi hak semua warga negara.

Akhirnya, komitmen 6 jam bukan sekadar ukuran kecepatan bertindak, melainkan juga wujud dari keadilan. Ini adalah pedoman moral bahwa setiap individu, tanpa memandang siapa dan di mana mereka tinggal, berhak mendapatkan pertolongan segera ketika bencana terjadi.(Red))