Oleh: Nasmaul Hamdani
Medan |PERS.NEWS-Predikat “mahasiswa” dahulu disematkan dengan penuh kebanggaan: kaum terpelajar, pembawa obor perubahan, penjaga nurani rakyat, dan pewaris tradisi intelektual. Namun, kini makna itu kian kabur. Di tengah derasnya arus digital, generasi kampus justru kerap terjebak dalam pusaran eksistensi — ingin terlihat aktif, tapi kehilangan kedalaman berpikir. Mahasiswa kini begitu sibuk berbicara, berdebat, dan berpose — namun makin sedikit yang membaca, meneliti, dan menulis.(19/20/25)
Kampus yang seharusnya menjadi ruang kontemplasi dan pengembangan nalar berubah menjadi panggung eksistensi dan dokumentasi. Media sosial telah menggeser prioritas: dari pencarian makna menjadi pencarian perhatian. Dari menggali ide menjadi mengedit caption. Dari memperjuangkan gagasan menjadi mengejar like dan view.
Krisis Literasi di Tengah Era Serba Instan. Data UNESCO beberapa tahun lalu sempat menggemparkan: minat baca masyarakat Indonesia hanya sekitar 0,001%, artinya hanya 1 dari 1.000 orang yang benar-benar memiliki kebiasaan membaca serius. Ironisnya, di kelompok yang seharusnya paling sadar akan pentingnya ilmu — yakni mahasiswa — gejala itu juga tampak nyata. Perpustakaan kampus menjadi ruang sunyi, buku-buku berdebu, dan rak referensi jarang tersentuh. Sebaliknya, kafe dan ruang swafoto justru penuh. Diskusi-diskusi ilmiah beralih fungsi menjadi ajang pamer kegiatan.
“Banyak mahasiswa sibuk membuat konten, tapi malas membaca konteks,” ujar seorang dosen muda dengan nada getir. “Kita sedang kehilangan generasi pembaca dan sedang melahirkan generasi pencari perhatian.”
Budaya Show-Up, Matinya Nalar. Kehadiran mahasiswa di seminar kini sering hanya sebatas absen dan foto bersama. Materi diskusi jarang diikuti dengan refleksi. Makalah hanya disalin, bukan ditulis dengan pemahaman. Budaya “show-up” menenggelamkan budaya “think-deep”. Banyak mahasiswa pandai berbicara, tapi dangkal dalam argumen; lihai berorasi, tapi miskin data. Intelektualitas akhirnya berhenti pada permukaan — tampil, bukan berpikir.
Padahal, inti dari menjadi mahasiswa bukan sekadar eksis di ruang publik, melainkan eksis dalam ide dan gagasan. Ketika kemampuan menalar mati, yang tersisa hanyalah gelar “mahasiswa” tanpa makna intelektual.
Kampus: Dari Ruang Ilmu ke Ruang Dokumentasi. Sistem pendidikan tinggi pun turut memperparah situasi. Kampus terlalu sibuk dengan formalitas: akreditasi, nilai, laporan kegiatan — tapi minim ruang refleksi dan pembelajaran mendalam. Mahasiswa menulis bukan karena haus ilmu, tapi karena takut nilai jelek. Dosen mengajar bukan untuk membangun nalar, tapi sekadar menunaikan kewajiban administratif.
Ruang-ruang diskusi yang dulu menjadi jantung intelektual kampus kini berganti dengan layar ponsel. Kamera lebih sibuk dari pikiran, dan unggahan lebih cepat muncul dari kesimpulan. “Intelektualitas mahasiswa kini berhenti di layar gawai,” ujar seorang pengamat pendidikan. “Padahal kampus seharusnya jadi laboratorium gagasan, bukan panggung pencitraan.”
Aktivisme Tanpa Bacaan: Gerakan yang Kehilangan Arah. Krisis literasi juga merembes ke dunia aktivisme mahasiswa. Banyak yang turun ke jalan, tetapi tak benar-benar memahami persoalan yang diperjuangkan. Aksi menjadi seremonial, orasi menjadi slogan, dan perjuangan kehilangan arah. Bagaimana mungkin menuntut perubahan tanpa memahami akar masalah? Bagaimana memperjuangkan rakyat tanpa membaca data dan sejarahnya? Gerakan tanpa bacaan hanya menghasilkan kebisingan — keras di suara, lemah di isi. Aktivisme kehilangan ideologi ketika bacaan tak lagi jadi bahan bakarnya.
Membangun Kembali Esensi Literasi. Rendahnya literasi bukan sekadar kesalahan mahasiswa, tapi juga kegagalan sistem pendidikan dalam menanamkan budaya berpikir kritis. Maka, kebangkitan literasi harus dimulai dengan kesadaran bersama:
– Revitalisasi perpustakaan sebagai ruang hidup, bukan sekadar simbol.
– Kurikulum yang menantang nalar, bukan sekadar mengejar angka.
– Gerakan mahasiswa berbasis bacaan dan riset, bukan sekadar mobilisasi massa.
– Kebiasaan menulis dan berdiskusi yang dilatih sejak dini, bukan hanya saat seminar.
Literasi bukan hanya soal membaca buku, tetapi juga kemampuan memahami dunia dan menulis gagasan untuk mengubahnya.
Saatnya Kembali Menjadi Kaum Intelektual Sejati. Eksistensi memang penting di era digital, tapi tanpa esensi, eksistensi hanya menjadi kebisingan tanpa isi. Mahasiswa harus memilih: ingin dikenal karena tampilan, atau dihormati karena pemikiran. Sebab, bangsa besar tidak dibangun oleh mereka yang sibuk eksis, melainkan oleh mereka yang serius mencari esensi.
“Revolusi sejati tidak lahir dari teriakan, tapi dari pikiran yang tenang dan bacaan yang dalam.”
Kini saatnya mahasiswa kembali membaca, menulis, dan berpikir — bukan sekadar tampil. Karena di tengah dunia yang riuh oleh eksistensi, esensi adalah bentuk perlawanan paling cerdas.(IHB)
Sumber : Nasmaul Hamdani Sekum Germanas (Gerakan Mahasiswa IKAPPENAS