Oleh: Michael P Manurung SH (Advokat)
MEDAN|PERS.NEWS —Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati peristiwa monumental yang menjadi sejarah lahirnya kesadaran kebangsaan: Sumpah Pemuda 1928. Tiga ikrar — satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa — bukan sekadar semboyan belaka, melainkan melainkan deklarasi dengan semangat yang membara oleh semua kaum Pemuda yang memiliki semangat demi terciptanya kesatuan dan perdamaian seluruh masyarakat Indonesia.(28/10/25)
Dimana kaum Pemuda tidak hanya menjunjung tinggi persatuan tetapi juga menjunjung tinggi hukum dan moral yang mana ini bisa saja menjadi pengikat nurani kolektif bangsa. Dalam perspektif hukum, Sumpah Pemuda dapat dibaca sebagai embrio konstitusionalisme Indonesia, jauh sebelum UUD 1945 dirumuskan.
1. Sumpah Pemuda sebagai Simbol pemersatu bangsa yang mempunyai nilai sosial di tengah masyarakat.
Para pemuda 1928 tidak menandatangani dokumen hukum, tetapi mereka membuat kesepakatan yang bersifat quasi-konstitusional. Ikrar itu membentuk landasan moral untuk lahirnya kesatuan hukum nasional di kemudian hari. Jika teori kontrak sosial Rousseau berbicara tentang kesepakatan rakyat untuk membentuk negara, maka Sumpah Pemuda adalah versi lokalnya — pernyataan kehendak bersama untuk hidup dalam satu sistem hukum yang sama.
Artinya, sejak 1928, bangsa Indonesia telah memiliki “consensus juris” (kesepakatan hukum) bahwa pluralitas suku dan bahasa tidak boleh memecah legitimasi hukum nasional. Prinsip ini kelak menjelma dalam Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
2. Semangat Persatuan sebagai Asas Hukum Nasional
Hukum nasional Indonesia dibangun di atas asas persatuan dan kesatuan bangsa. Setiap produk hukum — dari UU, peraturan pemerintah, hingga kebijakan daerah — wajib berdasarkan pada asas ini. Sumpah Pemuda adalah fondasi filosofisnya.
Dalam kerangka rechtsidee (cita hukum), persatuan menjadi ruh dari setiap norma yang berlaku. Jika ada regulasi yang menimbulkan diskriminasi atau perpecahan, maka secara substantif ia bertentangan dengan semangat Sumpah Pemuda dan falsafah Pancasila.
3. Sumpah Pemuda dan Tantangan Supremasi Hukum
Sayangnya, hampir seabad setelah ikrar itu diucapkan, semangat persatuan hukum masih sering diuji. Banyak kebijakan hukum yang cenderung elitis, koruptif, bahkan sektarian. Hukum kerap menjadi alat kepentingan kelompok, bukan pemersatu bangsa. Padahal, dalam semangat Sumpah Pemuda, hukum seharusnya menjadi medium penyama derajat warga negara — lex est quod notamus omnes (hukum adalah yang kita sepakati bersama).
Maka, memperingati Sumpah Pemuda bukan hanya soal sejarah dan simbol, tetapi juga soal refleksi etika hukum: apakah sistem hukum kita hari ini masih berpihak pada cita-cita persatuan itu?
4. Penegakan Hukum sebagai Wujud Cinta Tanah Air
Dalam konteks modern, nasionalisme tidak lagi cukup hanya dengan mengibarkan bendera atau menyanyikan lagu kebangsaan. Nasionalisme sejati tampak dalam ketaatan terhadap hukum yang adil. Setiap penegak hukum, pejabat publik, maupun warga negara yang menjunjung supremasi hukum sejatinya sedang mengamalkan Sumpah Pemuda dalam bentuk paling nyata.
Penutup
Sumpah Pemuda 1928 telah memberi arah moral bahwa Indonesia berdiri atas dasar kesatuan cita hukum dan kesamaan derajat di hadapan aturan. Jika hukum tidak lagi menjadi perekat, maka semangat Sumpah Pemuda hanyalah slogan tanpa makna. Karena itu, memperkuat hukum yang adil dan bersatu adalah cara paling sahih untuk menepati janji para pemuda 1928: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, dan Satu menjunjung tinggi Hukum Indonesia agar tercipta nya kedamaian ditengah tengah masyarakat hukum harus memiliki prinsip keadilan yang mutlak dan berpihak kepada kebenaran.(Red)













