Oleh: Nasmaul Hamdani
“Antara Keyakinan dan Kepasrahan”
MEDAN|PERS.NEWS-Dalam budaya kita, kepercayaan terhadap “garis tangan” telah mengakar begitu lama. Guratan di telapak tangan sering dianggap sebagai cerminan nasib—penentu umur panjang, rezeki, bahkan jodoh. Tak jarang, ketika seseorang gagal dalam usaha atau hidup dalam keterbatasan, kalimat “memang sudah garis tangan saya” terlontar begitu saja.(30/10/25)
Ungkapan itu terdengar pasrah, namun di baliknya tersimpan dilema: benarkah garis tangan menentukan jalan hidup, ataukah manusia sendirilah yang mengukir garisnya melalui langkah dan pilihan?
“Garis yang Sama, Langkah yang Berbeda”
Kita kerap lupa pada kenyataan sederhana: garis tangan mungkin tetap, tetapi kehidupan bisa berubah. Seorang anak buruh bisa menjadi sarjana, bahkan pemimpin, bila ia berani melangkah keluar dari garis keterbatasan. Sebaliknya, ada yang lahir dalam kemudahan, namun hidupnya stagnan karena tak pernah berjuang.
Contoh-contoh seperti ini nyata di sekitar kita. Mereka yang memilih melangkah dengan tekad membuktikan bahwa takdir bukan belenggu, melainkan ruang bagi manusia untuk berusaha. Garis tangan bisa jadi simbol potensi, namun hasil akhirnya ditulis oleh langkah yang kita ambil.
“Takdir Bukan Alasan untuk Berhenti”
Dalam pandangan Islam, takdir bukan berarti menyerah pada keadaan. Rasulullah SAW bersabda:
“Beramallah, karena setiap orang dimudahkan menuju apa yang telah ditetapkan baginya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, meski takdir Allah telah digariskan, manusia tetap diberi ruang untuk berikhtiar. Namun, sebagian orang justru menjadikan takdir sebagai alasan untuk berhenti. Ketika gagal, mereka menyalahkan nasib; ketika malas berusaha, mereka bersembunyi di balik kalimat “sudah ditentukan.”
Padahal, sikap seperti itu bukan bentuk tawakal, melainkan keputusasaan yang halus. Tuhan tidak pernah meminta manusia berhenti berjuang—justru di situlah ujian iman dan kesungguhan berada.
“Membaca Garis Tangan, Menafsirkan Kehidupan”
Garis tangan, bila dimaknai lebih dalam, bukan sekadar ramalan nasib. Ia adalah simbol perjalanan hidup: penuh liku, tak selalu lurus, namun selalu memberi arah. Setiap belokan dan cabang kecil di telapak tangan bisa diibaratkan sebagai pilihan yang kita hadapi setiap hari—antara menyerah atau melangkah, diam atau bergerak, pasrah atau percaya.
Ketika seseorang memilih untuk terus berjalan, bahkan dalam keadaan paling sulit, ia sedang menulis ulang makna garis tangannya. Hidupnya tidak diatur oleh ramalan, tetapi oleh keputusan-keputusan kecil yang ia buat setiap hari—untuk belajar, bekerja, memaafkan, dan berbuat baik.
“Langkah yang Mengubah Takdir”
Takdir memang tak bisa dihapus, tetapi bisa ditafsirkan melalui tindakan. Seorang nelayan tidak dapat mengubah arah ombak, namun ia bisa menyesuaikan layar agar sampai ke tujuan. Begitu pula manusia—tak bisa menolak ketetapan Tuhan, tetapi bisa memilih bagaimana meresponsnya.
Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil: keberanian mencoba lagi setelah gagal, keyakinan untuk tetap jujur di tengah tekanan, atau kesediaan bersyukur di tengah kekurangan. Di sanalah manusia menulis ulang garis hidupnya dengan tinta perjuangan.
“Menatap Telapak Tangan, Bukan untuk Meramal”
Kini, saat kita menatap telapak tangan sendiri, jangan lagi mencari ramalan. Lihatlah ia sebagai pengingat bahwa hidup ini sudah penuh garis—tetapi belum tentu penuh makna. Setiap goresan baru yang lahir dari kerja keras, doa, dan keteguhan hati akan memperindah “lukisan” kehidupan kita.
Tuhan tidak menilai garis di tanganmu, melainkan arah langkah yang kau pilih. Sebab sejatinya, garis tangan hanyalah simbol—sedangkan langkahmulah yang menjadi bukti nyata bagaimana manusia menulis takdirnya bersama kehendak Ilahi.(NH)













