Oleh : Alya Santika Batubara
MEDAN|PERS.NEWS-Peluncuran resmi Bulan Dana PMI Jakarta Selatan 2025 kembali menargetkan capaian besar, yakni hingga miliaran rupiah. Pemerintah daerah mengajak seluruh masyarakat untuk berkontribusi, sekaligus menegaskan pentingnya solidaritas dan kepedulian sosial.
Namun bagi kami, generasi muda yang tumbuh di era informasi terbuka, ajakan moral saja tidak lagi cukup. Gerakan kemanusiaan perlu dibangun dengan transparansi yang lebih baik, partisipasi masyarakat yang bermakna, serta akuntabilitas nyata yang dapat dipercaya. Tanpa itu semua, kepercayaan masyarakat sebagai sumber daya sosial utama bagi lembaga kemanusiaan akan terus berkurang.
Program Bulan Dana PMI adalah kegiatan mulia yang telah berlangsung bertahun-tahun. Namun melihat banyaknya kasus penyalahgunaan donasi oleh lembaga sosial lain dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat kini semakin kritis terhadap pengelolaan dana kemanusiaan.
Ini bukan karena masyarakat tidak peduli, tetapi karena kepedulian masa kini harus diiringi dengan sistem yang jelas, terbuka, dan dapat diawasi. Data menunjukkan adanya indikasi menurunnya kepercayaan publik. Di Jakarta Selatan, perolehan Bulan Dana PMI 2024 hanya mencapai sekitar Rp 8,5 miliar, turun dari Rp 10,1 miliar pada tahun sebelumnya.
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kepercayaan publik sedang berada pada titik lemah. Hal ini menjadi tantangan besar bagi lembaga kemanusiaan seperti PMI.
Masyarakat tidak lagi cukup diberikan pernyataan bahwa dana “akan digunakan untuk penanggulangan bencana, sosial, dan kesehatan.” Publik ingin mengetahui berapa dana yang terkumpul, bagaimana anggaran digunakan, siapa penerima manfaat, dan bagaimana proses audit dilakukan. Ini bukan permintaan berlebihan; ini merupakan standar organisasi modern.
Di tingkat global, lembaga seperti International Federation of Red Cross (IFRC) dan International Committee of the Red Cross (ICRC) secara terbuka mempublikasikan laporan keuangan tahunan lengkap dengan audit independen.
Laporan tersebut dapat diakses kapan saja, sehingga masyarakat dapat memantau setiap rupiah dan setiap program. Standar seperti ini sudah seharusnya mulai diterapkan oleh PMI di tingkat daerah, termasuk Jakarta Selatan.
Persoalannya, pelaksanaan Bulan Dana selama ini sering mengandalkan “kekuatan struktural,” seperti sekolah, instansi pemerintah, perusahaan, dan organisasi birokratis lainnya. Model ini membuat partisipasi masyarakat terlihat masif, tetapi sebenarnya bersifat pasif.
Banyak yang berdonasi karena mengikuti arahan institusi, bukan karena memahami tujuan dan dampak penggunaan dana. Jika gerakan kemanusiaan ingin bertahan, ia harus tumbuh dari kesadaran, bukan sekadar kewajiban birokratis.
Selain itu, informasi mengenai dampak masih sangat minim. Masyarakat mengetahui bahwa PMI menyediakan ambulans, layanan darah, dan penanggulangan bencana.
Namun sejauh mana dampak itu dirasakan? Berapa kali ambulans digunakan? Berapa warga rentan yang dibantu? Berapa kegiatan sosial yang terlaksana sepanjang tahun? Berapa besar biaya operasional yang dibutuhkan? Semua informasi tersebut jarang dipublikasikan secara rinci.
Di era digital, PMI sebenarnya dapat membuat dashboard transparansi sederhana yang menampilkan data penggunaan dana secara real-time, seperti grafik serapan dana, foto kegiatan, hingga laporan mingguan. Langkah kecil ini dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat secara signifikan.
Sebagai mahasiswa, kami juga menaruh perhatian besar. Kampus sering menjadi titik distribusi kotak donasi, tetapi kami jarang dilibatkan dalam evaluasi atau perencanaan. Padahal, generasi muda tidak hanya ingin menyumbang, tetapi juga ingin ikut dalam proses pengawasan, riset, dan pengembangan program kemanusiaan.
Dengan jumlah relawan PMI yang mencapai sekitar empat juta orang, PMI dapat membuka ruang kolaborasi lebih luas melalui program relawan berbasis keahlian, audit sosial, kelas edukasi kebencanaan, atau riset lapangan. Dengan demikian, Bulan Dana tidak hanya menghasilkan dana, tetapi juga melahirkan agen perubahan yang memahami nilai kemanusiaan secara lebih mendalam.
Karena gerakan kemanusiaan yang kuat bukan hanya tentang berapa besar dana yang terkumpul, tetapi tentang seberapa banyak masyarakat yang merasa memiliki gerakan itu.
Pada akhirnya, Bulan Dana PMI seharusnya menjadi cermin: seberapa besar kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kemanusiaan hari ini? Jawabannya tidak hanya ditentukan oleh besar kecilnya dana yang terkumpul, tetapi oleh sejauh mana PMI mampu membangun komunikasi yang terbuka dan melibatkan publik dalam pengawasan.
Kepercayaan masyarakat adalah modal terbesar PMI. Tanpanya, sebesar apa pun kotak donasi tidak akan berarti. Sebaliknya, jika transparansi dan akuntabilitas diperkuat, partisipasi masyarakat diperluas, dan generasi muda dilibatkan bukan hanya sebagai donatur, tetapi juga sebagai mitra, maka Bulan Dana akan benar-benar menjadi gerakan kemanusiaan yang hidup, bukan sekadar tradisi tahunan.
Di tengah meningkatnya ancaman bencana dan kompleksitas masalah sosial, Indonesia membutuhkan lembaga kemanusiaan yang tidak hanya bekerja keras, tetapi juga bekerja secara terbuka. Itulah kunci agar solidaritas terus tumbuh dan kepercayaan publik tetap terjaga.(Red)













