NAHDLATUL ULAMA DI PERSIMPANGAN ABAD KEDUA:Konflik Struktural PBNU dan Bayang-Bayang Khittah 1926

Oleh: Akhmad Khambali, SE, MM

MEDAN|PERS.NEWS-Nahdlatul Ulama (NU) memasuki abad keduanya dengan satu pertanyaan besar: bagaimana organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini menjaga jati dirinya di tengah tarikan politik yang semakin kuat? Sejak berdiri pada 1926, NU dirancang sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah—organisasi sosial-keagamaan yang berkhidmat bagi umat dan bangsa.

Namun sejarah menunjukkan bahwa politik selalu hadir sebagai godaan. Dari sinilah lahir Khittah 1926, bukan sekadar dokumen historis, melainkan kompas moral dan etika yang senantiasa dihidupkan kembali setiap kali NU dinilai menjauh dari rel pengabdiannya.

Khittah berfungsi sebagai pagar etis. Ia mengingatkan bahwa NU harus memprioritaskan dakwah, pendidikan, sosial kemasyarakatan, dan pembangunan umat—bukan larut dalam pusaran kekuasaan politik praktis.

Bukan berarti NU anti-politik. Akan tetapi, NU dituntut menjaga jarak kritis agar tidak kehilangan otonomi moral dan sikap independennya. Sepanjang sejarah—dari Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi—Khittah kerap menjadi “rem darurat” ketika NU dinilai terlalu jauh memasuki wilayah politik praktis.

PENULIS: Akhmad Khambali, SE, M.M ( Ketua Forum Kyai Tahlil)

Akar Ideologi: Aswaja sebagai Kompas Utama

NU berdiri di atas fondasi Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang melahirkan karakter khas warga NU: moderat, seimbang, toleran, serta konsisten menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Nilai-nilai inilah yang membuat NU tetap kokoh menghadapi perubahan zaman.

KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa otoritas ulama harus berada di pucuk pimpinan sebagai penjaga moral organisasi. Namun seiring membesarnya NU, dinamika internal tak terelakkan. Ketegangan antara Syuriyah (otoritas keulamaan) dan Tanfidziyah (pelaksana organisasi) kerap muncul, terutama ketika NU berada dalam pusaran kepentingan politik.

Di era demokrasi terbuka, peluang politik kian lebar. NU pun seringkali terseret ke dalamnya, meskipun Khittah telah berulang kali mengingatkan pentingnya kehati-hatian.

Situbondo 1984: Koreksi Sejarah NU

Muktamar Situbondo 1984 menjadi tonggak koreksi besar dalam sejarah NU. KH Ahmad Siddiq bersama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara tegas mengembalikan NU ke Khittah 1926. NU menarik diri dari politik praktis dan kembali meneguhkan peran utamanya dalam pendidikan, dakwah, serta pemberdayaan sosial.

Keputusan ini bukan bentuk sikap apolitis, melainkan ikhtiar menjaga marwah ulama agar tidak tergerus oleh perebutan kekuasaan.

Reformasi 1998 menghadirkan babak baru dengan lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai kanal politik warga NU. Secara teoritis, PKB menjadi wadah politik, sementara PBNU tetap berperan sebagai otoritas moral. Namun praktik di lapangan tidak berjalan ideal. Relasi ini kerap tumpang tindih dan memunculkan pertanyaan: siapa representasi politik warga NU sesungguhnya—PKB atau PBNU?

Politisasi Struktural PBNU

Di era kontemporer, NU menghadapi tantangan baru: politisasi struktural. PBNU tidak hanya bersentuhan dengan politik elektoral, tetapi juga masuk ke ranah kemitraan ekonomi negara, akses proyek, dan konsesi tertentu atas nama pemberdayaan umat.

Situasi ini menempatkan PBNU pada posisi rentan sebagai political beneficiary—penerima manfaat dari kekuasaan politik. Kekhawatiran pun menguat di kalangan Nahdliyyin: apakah NU masih berdiri sebagai organisasi sosial-keagamaan, atau telah bertransformasi menjadi aktor politik struktural?

Banyak pihak mendesak agar PBNU kembali berpegang teguh pada Pasal 9 AD/ART dan meminimalkan praktik yang beraroma politik praktis. NU diharapkan kembali pada nilai khidmah dan pengabdian, bukan kompetisi kekuasaan.

Krisis 2025: Otoritas Moral vs Otoritas Prosedural

Konflik antara Rais Aam KH Miftachul Akhyar dan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf pada 2025 menjadi puncak dari ketegangan struktural yang telah lama mengendap. Rapat Harian Syuriyah mendesak Ketua Umum untuk mundur dengan alasan moral dan ideologis.

Surat Edaran Syuriyah yang mengklaim pemberhentian Ketua Umum ditolak oleh pihak Tanfidziyah karena dinilai tidak sesuai dengan prosedur AD/ART. Di sinilah tampak jelas pertarungan dua otoritas:

  • Otoritas Moral (Syuriyah) yang merasa berkewajiban menjaga Khittah dan marwah keulamaan.

  • Otoritas Prosedural (Tanfidziyah) yang berpegang pada aturan organisasi dan tata kelola formal.

Konflik ini mencerminkan lemahnya mekanisme resolusi konflik internal serta rapuhnya harmoni tata kelola organisasi.

Warisan Muassis sebagai Jalan Tengah

KH Hasyim Asy’ari mengingatkan agar NU menjaga jarak dari pragmatisme kekuasaan. Gus Dur mewariskan nilai-nilai utama NU: pluralisme, humanisme, dan kemanusiaan. Nilai-nilai ini seharusnya menjadi rujukan utama dalam menghadapi konflik internal maupun godaan politik.

NU abad kedua juga mengusung agenda besar moderasi beragama dan kemandirian ekonomi. Namun kemandirian ekonomi harus dijaga agar tidak berubah menjadi pintu masuk patronase politik baru. Upaya mandiri tidak boleh melahirkan ketergantungan baru pada kekuasaan.

Meneguhkan Khittah, Bukan Sekadar Mengutipnya

Agar NU tetap jernih dalam melangkah, setidaknya tiga langkah perlu dilakukan:

  1. Menafsirkan ulang Khittah secara tegas, termasuk pembatasan praktik konsesi politik yang berpotensi merusak independensi NU.

  2. Membangun mekanisme resolusi konflik internal yang kuat dan bermartabat.

  3. Mengembalikan orientasi NU pada dakwah, pendidikan, dan pemberdayaan umat.

Tanpa itu, NU berisiko kehilangan wajah kulturalnya dan tereduksi menjadi aktor politik semata.

Islah sebagai Jalan Satu-Satunya

Dalam situasi ini, jalan terbaik adalah islah. Bukan sekadar rekonsiliasi simbolik, tetapi upaya tulus menurunkan ego, menyatukan kembali Syuriyah dan Tanfidziyah, serta memulihkan kepercayaan publik Nahdliyyin.

Islah berarti kembali ke rumah besar para muassis—rumah yang dibangun di atas keikhlasan, khidmah, dan spiritualitas.

NU harus kembali pada jati dirinya: pelayan umat, penjaga akhlak publik, dan penuntun peradaban. Bila ini diteguhkan, NU akan tetap menjadi jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah yang kokoh dan digdaya, sebagaimana dicita-citakan para pendirinya.(Red)