PERS.NEWS – Anggota Komisi VI DPR RI Ahmad Labib menyoroti maraknya peredaran durian ilegal asal Malaysia yang diduga masuk ke Indonesia melalui jalur Batam, Riau, dan Jakarta.
Ia menilai praktik penyelundupan tersebut telah merugikan petani lokal dan mengancam keberlangsungan usaha durian di dalam negeri.
“Setiap harinya tercatat ada ratusan koli durian ilegal yang masuk ke pasar kita. Praktik ini sangat merugikan petani lokal dan mengancam keberlangsungan usaha mereka. Barang-barang yang masuk 100 persen ilegal,” kata Ahmad Labib dalam keterangannya di Jakarta, Minggu, 12 Oktober 2025.
Labib menjelaskan, berdasarkan laporan yang ia terima dari sejumlah petani durian lokal, aksi penyelundupan ini dilakukan secara terorganisir oleh beberapa pedagang.
Ia mengungkapkan bahwa setiap hari sedikitnya 10 ton durian ilegal asal Malaysia masuk ke wilayah Indonesia tanpa izin resmi dari pemerintah.
Salah satu oknum penyelundup bahkan diduga rutin memasukkan 1 hingga 2 ton durian ilegal setiap hari ke wilayah Jakarta melalui jalur Batam dan Riau.
“Aksi ini jelas melanggar aturan perdagangan dan menimbulkan persaingan tidak sehat di pasar durian nasional,” ujarnya.
Menurutnya, masuknya durian impor tanpa izin tersebut telah memicu ketidakstabilan harga durian lokal di berbagai daerah, terutama saat musim panen.
Petani durian dalam negeri disebut mengalami penurunan harga jual akibat banjirnya produk impor ilegal di pasaran.
Ahmad Labib menilai bahwa kasus durian ilegal asal Malaysia hanyalah satu dari banyak contoh kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh importir nakal.
Ia menegaskan, fenomena ini menambah daftar panjang produk ilegal yang beredar di Indonesia.
“Durian ilegal ini menambah daftar panjang banyaknya barang atau produk ilegal yang masuk ke Indonesia, mulai dari pakaian, elektronik, hingga produk hortikultura lainnya. Indonesia benar-benar menjadi surga bagi pelaku-pelaku importir nakal yang merusak sistem ekonomi nasional,” tegas Labib.
Ia mengingatkan bahwa praktik seperti ini bukan hanya merugikan petani dan pelaku usaha kecil, tetapi juga berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola perdagangan nasional. (*)